10.13.2012

Prolog: Bagian 1: Hujan Deras


Derasnya hujan yang jatuh dari langit membasahi seluruh tubuhku, berdiri di tengah malam pada trotoar jalanan membuatku berpikir atas keberadaanku yang mungkin saja memang tidak diinginkan dikota ini. Mengapa diriku sampai berpikir seperti itu? tapi setelah segala perbuatanku yang membuat teman-temanku dan orang-orang disekelilingku merasa takut, aku rasa hal itu memang membuat siapa saja akan berpikir hal yang sama seperti diriku.

Dinginnya malam dan basahnya hujan yang menyelimuti tubuhku ini terasa sangat berbeda ketika aku sedang melihat dan teringat beberapa orang yang masih menerima diriku apa adanya. Dan saat ini dalam bayang-bayang malam dan diantara bangunan rumah tinggal ini, aku melihat mereka dalam sebuah rumah yang berada diseberang tempatku berdiri.

Terlihat melalui jendela yang menyala terang, kecemasan dan kesedihan menyelimuti seluruh wajah dan tindak-tanduk mereka. Keluargaku, dan teman baikku Evelyn berada didalam kecemasan tersebut. Tiba-tiba melihat mereka masih peduli terhadap diriku membuatku merasakan kehangatan dalam hati yang membuat diriku masih merasa hidup.

"Selamat tinggal semuanya, mungkin suatu saat aku akan kembali untuk kalian semua." ucapku lirih sembari memalingkan wajah dan tubuhku untuk menghilang di kegelapan malam itu.

Mengapa hal ini terjadi kepada diriku, mengapa aku memiliki kutukan ini, apakah ini semua memang sudah menjadi bagian dari takdirku? tapi mengapa takdirku yang telah diberikan oleh Yang Kuasa ini membuat diriku dan keluargaku tertekan. Apa maksud dari semua ini? segala pertanyaan itu terus menerus berputar-putar dikepalaku.

Ku terus melangkahkan kaki menyusuri jalanan kota ini, aku sendiri tidak tahu harus kemana atau mau kemana. Selama aku masih kuat untuk melangkah, akan aku lakukan untuk keluar dari kota ini, mungkin keluar dari negeri ini. Kucoba untuk terus berjalan menerobos derasnya hujan yang mengguyur sekujur tubuhku, akan tetapi bayang-bayang semua orang yang aku tinggalkan membuat langkah kakiku tertahan. Terus aku mencoba untuk meneguhkan pendirianku ini untuk coba meninggalkan segalanya dibelakangku, karena keberadaanku disini tidak diharapkan oleh lingkungan dan akan membuat orang-orang yang ku sayangi akan menderita.

“Ini semua demi mereka! Tidak boleh aku untuk menjadi lemah dan hanya bersandar kepada mereka.” ucapku kepada diriku sendiri untuk meneguhkan pendirian dan hatiku yang masih gundah.

Walaupun terdengar ucapanku itu egois karena memang itu semua adalah asumsi yang aku buat sendiri, akan tetapi hal tersebut disebabkan atas kejadian yang telah terjadi sebelumnya pada diriku dan mengakibatkan orang-orang disekitarku juga menderita karenanya. Dan aku pun bertekad untuk tidak akan membuat mereka menderita dan celaka lagi.

Langkah kaki pun berubah ritme menjadi lebih cepat dan lebih cepat lagi, sehingga tanpa diriku sadari bahwa aku telah membuat diriku melarikan diri dan menjauh dari kenyataan yang terjadi dibelakangku. Aku coba untuk kembali menghilang di kegelapan malam dan gang yang sempit, entah telah berapa jauh aku telah berlari dan entah kemana aku akan membawa diriku. Saat ini yang aku pikirkan adalah pergi sejauh-jauhnya dari tempat semula aku berada dan mencari tempat untuk berteduh dari dinginnya malam dan derasnya hujan yang membasahi kota ini.

Malam pun menjadi semakin larut, kehidupan di kota ini mulai terlihat berakhir. Tetapi aku terus berlari tanpa henti untuk terus berusaha untuk melarikan diri dan melupakan jati diriku yang sebenarnya dan menjadikan hal tersebut menjadi sebuah sejarah dalam kehidupanku. Sejarah yang ku pendam jauh di dalam pikiranku, aku tahu ini merupakan hal yang paling menyakitkan bagi diriku, mungkin tidak hanya bagiku tapi mereka yang juga peduli terhadap diriku. Pikiranku pun mulai kosong dan tenggelam dalam pelarianku, walau terlihat sangat konyol membuang segala identitas diri dan tidak mencoba untuk bertahan dalam hidup serta mempertahankan segala yang telah ku miliki.

Aku mungkin seorang yang bodoh, yap mungkin itulah aku. Seorang yang berpikiran sangat sempit dan bodoh untuk tidak dapat melihat bahwa betapa beruntungnya diriku ini, telah memiliki banyak orang yang peduli dan sayang terhadap diriku, akan tetapi saat aku melihat mereka menjadi yang tersakiti karena diriku, tidak, aku tidak ingin hal itu terjadi pada siapa pun. Biarlah aku yang menanggung hal itu semua, egois? ya memang benar. Bodoh? sudah pasti ini hal yang sangat bodoh.

Betapa tidak bodohnya diriku, aku memiliki uang untuk dapat dengan mudahnya aku mencari tempat pelarian yang baru, menggunakan segala transportasi yang dapat membantu diriku. Tetapi mengapa aku mencoba untuk menyakiti diriku sendiri dengan berlari di tengah derasnya hujan dan melewati setiap gang yang sempit dan daerah kumuh untuk menghilang dalam gelapnya malam. Menghindari setiap rintangan tembok, menyeberangi setiap jembatan yang ada, dan melewati setiap tikungan yang ku jumpai dan hal ini hanya untuk berlari dari kenyataan pahit yang ku alami sebelumnya.

Rasa sakit pada setiap tubuhku sudah tidak lagi aku rasakan lagi, kakiku pun mulai kehilangan kekuatannya untuk terus berlari lagi. Aku tidak tahu lagi sudah berapa lama atau sudah berapa jauh aku telah berlari hingga saat ini, tapi satu yang aku ketahui bahwa mungkin sesaat lagi aku akan mencapai batas kekuatan dari tubuhku sendiri.

Pandangan mataku pun mulai pudar dan berkunang-kunang, napasku pun mulai tidak beraturan dan tersengal-sengal, terasa sakit yang tak terkira di dadaku. Aku sempat berpikir bahwa inilah kekuatan terakhirku untuk hidup dan sesaat sebelum semuanya mulai hilang dalam ketidaksadaranku, tiba-tiba saja aku melihat sebuah rumah kumuh yang mungkin dapat membuat diriku sedikit beristirahat dari semua rasa sakit yang ku alami. Tubuh ini sudah mencapai puncaknya saat ku terus mencoba untuk mengalihkan pelarianku menuju rumah tersebut, aku pun tak tahu apakah rumah tersebut berpenghuni atau tidak yang terpenting saat ini yang ada dalam pikiranku dan instingku mengatakan untuk berhenti dan bertahan hidup.

Tubuh ini mulai mencapai titik terlemahnya, lariku pun terasa melambat dan kedua kakiku saat ini terasa sangat berat untuk melangkah. “Harus.... dapat.... sampai kesana....”, ucapku seraya mencoba membangun segala kekuatan diri yang terasa mulai redup dan menghilang sedikit demi sedikit tapi pasti. Dengan langkah yang terseok-seok dan walaupun harus menyeret kedua kakiku dan menarik tubuhku sendiri dengan kedua tangan ini, aku perlu berhenti sejenak dan berteduh.

Tapi akhirnya saat yang ku takutkan akhirnya datang juga, yaitu segala kekuatan dalam tubuhku pun mulai sirna dan pandanganku pun mulai gelap, pikiranku mulai kehilangan kesadarannya, walau insting bertahan hidupku terus berkata bahwa hanya tinggal sedikit lagi. Semuanya menjadi gelap dan mataku sudah tidak dapat terbuka lagi, kakiku pun sudah tidak mau melangkah lagi, kucoba ku ayunkan tanganku ke depan dan apa yang kurasakan pada telapak tanganku ini? sebuah benda keras dan kokoh terasa sangat jelas sekali pada telapak tangan ini, aku berpikir bahwa akhirnya aku telah sampai pada dinding rumah tersebut, aku telah mencapai tempat untuk berteduh dan akhirnya menjadi sangat dingin dan hening.


Prolog: Bagian 2: Kenyataan, Mimpi dan RasaTakut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar