10.11.2013

Bagian 3: Mimpi Buruk

Aku mencoba untuk bangkit dari tempat aku terbaring, hanya untuk duduk dan membalas pertanyaan dari seorang bapak tua yang berada di hadapanku ini.

"Ugh!", aku mengerang menahan sakit yang aku rasakan di sekujur tubuhku ini.

Wanita itu secara sigap segera ingin membantu menopang badanku yang seakan ingin tumbang karena menahan rasa sakit yang terlihat sangat jelas di raut wajahku. Akan tetapi segera aku menahan dirinya untuk membantuku dengan memberikan isyarat mengangkat tangan kiriku untuk memberhentikannya. Aku ingin mencoba untuk kuat dan untuk tidak merasakan rasa sakit di tubuhku ini. Bapak tua itu pun juga segera menghentikan usahanya untuk membantu ku dengan menahan pergerakan badan wanita itu untuk bangkit dari tempat duduknya dengan tangan kirinya yang berusaha menggapai tubuhku yang terbungkuk ke depan.

Setelah aku bangkit dan terduduk dengan sedikit menyandar pada dinding di belakangku, kemudian aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian sebelumnya. "Namaku Erik.", kata ku atau setidaknya itu nama yang aku ingat dan muncul pertama kali dan aku anggap itu adalah namaku.

"Perkenalkan, saya Abdul dan ini putriku Lusi.", kata bapak itu memperkenalkan diri dan anaknya.

"Erik, apakah tidak ada orang lain yang mencari dirimu?", tanya bapak Abdul itu kepadaku.

"...aku sebenarnya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.", ceritaku kepada mereka.

"Apakah mereka telah meninggalkan dirimu atau...?", tanya bapak Abdul.

Aku hanya terdiam menatap dirinya dan mencoba untuk melemparkan pandangan mataku ke langit-langit tempat tinggal bapak itu dan akhirnya ku tundukkan wajahku dan penuh dengan kebisuan. Hal-hal yang ingin ku ceritakan akan tetapi aku coba untuk menguburnya dalam-dalam di dalam diriku.

"Baiklah, jika kau belum mau cerita lebih lanjut. Istirahatlah dulu, kami tidak akan mengganggumu.", kata bapak Abdul kepada ku dan memberikan isyarat kepada anaknya Lusi yang telah merawatku untuk beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan diriku sendiri, dengan maksud untuk membiarkan diriku istirahat dan mungkin meluangkan waktu untuk berpikir sendiri.

Aku mungkin orang paling egois di seluruh dunia ini, pikirku. Aku membiarkan seluruh orang yang menyayangiku untuk khawatir dan mencariku hingga saat ini, akan tetapi aku memilih untuk menghilang. Dua kali aku telah membuat mereka mencari diriku, waktu itu aku sendiri juga tidak ingat mengapa aku menghilang. Aku hanya ingat bahwa pada saat diriku berumur 9 tahun, kami berenam, Evelyn, Doni, Guntur, David dan Rury bermain sepeda ke bukit di belakang sekolah dasar kami dan tiba-tiba langit gelap terlihat akan turun hujan badai dan angin pun berubah dari yang berhembus sepoi-sepoi menjadi lebih cepat dan dingin membawa dedaunan yang jatuh berterbangan.

Pohon-pohon pun mulai bergerak-gerak tertiup oleh angin yang menjadi kencang dan tiap hembusan angin yang melewati pepohonan menghasilkan siulan dengan suara yang tinggi. Kami sepakat untuk kembali pulang, karena cuaca yang tidak lagi cerah.

"Ayo kita pulang saja teman-teman!", seru Doni kepada kita semua. Memang kita berenam bersahabat selalu bersama-sama dan melihat Doni sebagai seorang yang dapat kita jadikan pemimpin.

Ketika kita semua mulai memutar sepeda kami masing-masing untuk menuju pulang, tiba-tiba hujan rintik-rintik pun turun yang membuat kita semua menjadi lebih panik dan terburu-buru dalam mengarahkan sepeda menuju rumah masing-masing. Pada saat itu posisiku memang bukan yang paling akhir, tapi Rury yang berada paling belakang dan kemudian aku lalu Evelyn, Guntur, Doni dan David.

Tapi tunggu apakah Evelyn yang paling belakang? atau diriku lah yang berada di urutan paling belakang? Argh! tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit sekali, seakan-akan tengkorak kepala ku seperti remuk. Rasa sakit itu semakin dashyat terasa oleh diriku, aku mencoba memejamkan mata untuk menahan rasa sakitnya, kedua tangan ku berupaya untuk meredakan dan meredam rasa sakitnya dengan menekan dan memegang kepala ku dar kedua sisi telinga kanan dan kiri. Sepertinya usaha itu sia-sia karena rasa sakit itu terus menerjang kepala ku, seakan-akan otak ku berdenyut sangat keras dan dihantam oleh palu godam.

Tiba-tiba kepala ku seakan terasa ringan dan hilang segala rasa sakit itu, saat ku buka kedua mataku tiba-tiba ada sekilas gambaran Evelyn yang tengah berada di sebuah mulut lubang yang tengah mencoba untuk menarik dirinya keluar dari lubang tersebut dan semua itu seakan-akan benar-benar nyata dan berada disana tanpa dapat menolongnya, walaupun ku coba untuk memberikan tanganku untuk menggapai dirinya tapi sepertinya tak akan dapat ku raih tangannya. Saat ku terus coba menolong Evelyn dan tiba-tiba tak terasa diriku sudah berada dipinggir tempat aku berbaring sebelumnya dan akhirnya gambaran itu tiba-tiba berganti bukan lagi Evelyn yang berada di mulut lubang tersebut akan tetapi Rury yang berada di mulut lubang itu, kemudian kilasan itu menghilang dan rasa sakit itu kembali datang di kepalaku.

Terus dan terus sakit di kepala ku tidak kunjung hilang, semakin ku coba untuk mengingat semakin rasa sakit ini aku rasakan. Ku coba bertahan dalam menahan rasa sakit ini dengan menggerakkan kepala ini ke depan dan kebelakang, hingga kepalaku berada diantara kedua lutut. Sebuah usaha yang sia-sia lagi, tidak sedikit pun rasa sakit itu menghilang, bahkan berkurang pun tidak. Tiba-tiba saja, sekilas sebuah gambaran ingatan kembali terbesit dan muncul di mataku bahkan saat terpejam pun ku seperti melihat dengan jelas, ingatan saat kami bermain di bukit belakang sekolah. Seperti potongan-potongan ingatan tampil, kulihat seluruh teman-teman mengayuh sepedanya dengan cepat di hujan rintik-rintik. Kemudian potongan ingatan itu berubah hanya tiga orang temanku saja yang terlihat di depanku mengayuh sepedanya.

Kemudian rasa sakit itu kembali menerjang dan semakin keras sakit yang kurasakan walau hanya sesaat, seperti dentuman keras yang terasa pada kepala ini. Aku hampir tersungkur pada tempat tidur ini saat ku rasakan rasa sakit tersebut, kemudian potongan ingatan itu kembali muncul, kulihat ke arah belakang ku. Aku lihat Evelyn berusaha dengan susah payah mengayuh sepedanya, potongan itu kembali menghilang dan tergantikan dengan kilatan ingatan bahwa bukan Evelyn yang berada di belakang ku, tapi Doni yang berada di belakangku.

Denyut sakit yang tiba-tiba datang dan kurasakan lebih hebat lagi rasa sakit ini menerpa otak ku, kilatan ingatan itu pun berubah dan aku melihat bahwa aku tidak melihat siapa-siapa di depan ku dan aku hanya mencoba mengayuh sepeda dengan cepat karena hujan telah datang dan tiba-tiba saja tanah dibawahku terasa runtuh dan aku pun terjatuh dari sepeda, berputar dan berputar pandangan yang kulihat, sekilas saat putaran itu terjadi kurasakan sakit di sekujur tubuhku dan kulihat pula teman-temanku semua mencoba untuk meraih ku saat melihatku terjatuh dan ku rasakan rasa sakit tidak hanya di kepala ku saja tapi di tengkuk dan tulang belakang ku.

Dalam sekejap semua rasa sakit yang kurasakan tiba-tiba lenyap dan potongan ingatan itu pun lenyap dari kepala ku, semua terlihat gelap, sunyi dan rasa lelah disekujur tubuhku. Keringat membasahi tubuh ku ini dan tiba-tiba kesadaranku mulai memudar.

Setelah kesadaranku mulai kembali, ku coba untuk membuka mataku. Aku lihat seorang wanita, tetapi pandanganku terlihat sedikit kabur. Berkali-kali ku coba mengedipkan mata untuk menghilangkan pandangan kabur ini dan mendapatkan penglihatanku lagi. Beberapa saat kemudian penglihatanku kembali membaik dan normal, ku lihat Lusi duduk menunggu di samping tempat tidur.

"Ada apa dengan diriku?", tanya aku kepada Lusi.

"Kau tadi sempat pingsan beberapa saat, aku cemas karena kamu tidak sadarkan diri selama beberapa jam.", kata Lusi, menjelaskan kondisi diriku.

"Terima kasih, Lusi. Kamu telah merawat aku untuk yang kedua kalinya.", kata ku dalam menyampaikan rasa terima kasih kepada Lusi.

"Dua kali? Oh maksudmu saat ini dan saat terjatuh di depan rumah kami?", tanya Lusi dalam mengkonfirmasi maksud perkataanku.

"Iya.", kata ku kembali.

"Sebenarnya yang menyelamatkan dirimu saat pertama kali tersungkur di depan rumah kami adalah bapak.", kata Lusi sambil merapihkan rambutnya yang cukup panjang untuk di sematkan ke telinga kanannya.

Seorang wanita yang cukup manis dengan kulit yang kecoklatan dan berparas menarik. Wajahnya yang oval, rambutnya yang lurus, panjangnya lebih panjang sedikit dari bahunya, bibirnya berwarna kemerahan dan hidungnya yang tidak terlalu mancung tapi pas dengan paras wajahnya.

"Oh, bapak Abdul.", jawab ku singkat sambil mencoba untuk tidak memikirkan hal lain dalam menenangkan pikiranku.

"Jika boleh tahu, kamu sendirian saja atau ada saudara kamu yang lain?", tanyaku untuk memecahkan suasana dan mencoba untuk mengakrabkan diriku dengan Lusi.

Kemudian Lusi pun menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak memiliki saudara lain.

"Kau anak tunggal?", tanyaku kembali kepada Lusi.

"Iya, aku anak tunggal.", jawab Lusi dengan singkat.

"Oh. Tapi bapakmu terlihat tua ya? Apakah memang sudah cukup berumur saat kamu lahir?", tanyaku dan di barengi dengan senyuman. Akan tetapi aku mendapati wajah Lusi yang seakan-akan menahan sesuatu di dirinya.

"Se...sebenarnya...bukan seperti itu...tapi...tapi...", jawab Lusi yang terbata-bata dan badannya gemetar, seperti sulit untuk menjelaskan keadaan yang membuat diriku penasaran. Tiba-tiba terdengar suara pak Abdul dari luar kamar.

"Sudah Lusi, kamu tidak perlu menjelaskan kepada Erik. Biarkan bapak saja yang menjelaskan.", jawab pak Abdul.

"Sebenarnya, jika kamu ingin tahu nak Erik, aku tidak seperti ini beberapa hari yang lalu.", jawab pak Abdul.